Cerita ini terjadi pada abad pertama hijriyah, di zaman tabi’in.
“Wahai suamiku, adakah di Makkah ini laki-laki yang jika melihat wajah cantikku ini ia tak tergoda? ” bertanya seseorang istri pada suaminya, sembari bercermin. Ia sangat kagum pada kecantikan yang terpantul di kaca itu.
“Ada. ”
“Siapa? ”
“Ubaid bin Umair. ” Sang istri diam sejenak. Ia merasa tertantang untuk menunjukkan bahwa kecantikannya akan dapat menggoda laki-laki itu.
“Wahai suamiku, ” tuturnya merayu, “bolehkah aku menunjukkan bahwa aku bisa membuat Ubaid bin Umair bertekut lutut di depanku? ”
Sang suami terkejut dengan permintaan ekstrem itu, namun ia sendiri juga merasa rencana istrinya itu akan jadi suatu hal yang menarik, untuk menguji keshalihah seorang ulama. “Silahkan, aku mengijinkanmu. ”
Sesudah merias diri sedemikian rupa, berangkatlah wanita ini mencari Ubaid bin Umair di Masjidil Haram. Ubaid yaitu seseorang ulama yang lahir semasa Rasulullah masih hidup. Nama lengkapnya Ubaid bin Umair bin Qatadah Al Laitsi Al Junda’i Al Makki. Kelak, beliau wafat pada tahun 74 hijriyah.
Waktu menjumpai Ubaid, wanita ini berpura-pura meminta nasehat. Ia beralasan kebutuhannya amat penting, serta memintanya pindah ke sudut masjid. Sesampainya disana, wanita ini membuka cadarnya serta tampaklah wajah cantiknya laksana bening rembulan. “Apa yang kau lakukan? ” kata Ubaid melihat kejanggalan wanita itu.
“Sungguh, aku mencintaimu. Aku cuma ingin jawaban darimu, ” sergah wanita ini, terus berupaya menggoda Ubaid.
“Sebentar, ” kata Ubaid. Saat ini nadanya mulai naik. “Ada beberapa pertanyaan yang jika kau menjawabnya dengan jujur, maka aku akan menjawab pertanyaanmu tadi. ”
“Baik, saya akan menjawabnya dengan jujur. ”
“Pertama, kalau Malaikat Maut datang menjemputmu saat ini, apakah engkau senang aku memenuhi ajakanmu? ” wanita ini tidak menyangka akan memperoleh pertanyaan yang langsung mengingatkannya dengan kematian.
“Tidak”
“Kedua, kalau sekarang ini engkau ada di alam kubur dan sedang didudukkan oleh Malaikat Munkar dan Nakir untuk ditanyai, apakah engkau senang aku penuhi ajakanmu? ”
“Tidak”
“Ketiga, kalau sekarang ini semua manusia menerima catatan amalnya dan engkau tidak tahu apakah kau akan mengambilnya dengan tangan kanan atau tangan kiri, apakah engkau senang bila aku memenuhi ajakanmu? ”
“Tidak”
“Keempat, kalau sekarang ini semua manusia digiring ke timbangan amal dan engkau tidak tahu apakah timbangan amal kebaikanmu lebih berat atau justru amal buruknya yang lebih berat, apakah engkau senang bila aku penuhi ajakanmu? ”
“Tidak”
“Kelima, kalau sekarang ini engkau ada dihadapan Allah untuk dimintai pertanggungjawaban atas semua nikmatNya yang sudah dianugerahkan kepadamu, masihkah tersisa rasa senang di hatimu bila aku penuhi ajakanmu? ”
“Demi Allah, tidak”
“Kalau demikian wahai wanita, takutlah kepada Allah. Begitu Allah telah memberi semuanya kepadamu. ” Kini ia tidak kuasa menahan air mata. Tadi ia datang ke Masjidil Haram berpura-pura mencari nasehat, saat ini ia betul-betul memperoleh nasehat yang betul-betul menyentuhnya.
Sesampainya dirumah, sang suami terkejut melihatnya bersedih.
“Apa yang terjadi wahai istriku? ”
“Kita ini termasuk orang yang celaka, ” jawab wanita itu, lalu ia mengambil wudhu dan shalat.
Hari-hari berikutnya, ia berubah drastis. Ia tidak lagi membanggakan kecantikannya. Ia tidak lagi gemar berdandan di tiap-tiap malam. Ia berubah jadi ahli shalat dan puasa.
*Disarikan dari Golden Stories karya Mahmud Mushtafa Sa’ad dan Nashir Abu Amir Al Humaidi.
*****
Sumber:Webmuslimah. com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar